Jumat, 30 Juli 2010

Susan Carland, Aktivis Gereja yang Menemukan Kelembutan Islam


REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE--Tahun 2004 lalu, mungkin menjadi tahun yang paling berkesan bagi seorang Susan Carland. Betapa tidak, wanita kelahiran Melbourne, Australia, ini terpilih sebagai Tokoh Muslim Australia (Australian Muslim of the Year) 2004. Sejak saat itu, sosoknya dikenal luas di seluruh penjuru Negeri Kangguru, bahkan hingga ke negeri tetangga.

Kendati pernah dinobatkan sebagai Tokoh Muslim Australia berpengaruh, sejatinya Susan bukan berasal dari keluarga Muslim. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk Kristen yang taat. Ia sendiri baru mengenal Islam pada usia yang baru menginjak 19 tahun.

Orang tuanya bercerai ketika Susan berusia tujuh tahun. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama ibunya, yang dianggapnya sebagai sosok wanita yang gigih, penyayang, dan orang yang paling banyak memengaruhi perjalanan kehidupannya.

Sebagai pemeluk Kristen yang taat, sang ibu pun mengharuskan anak gadisnya itu untuk aktif dalam kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. Namun, ketika menginjak usia 12 tahun, ia memutuskan tidak lagi menghadiri kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. "Saat itu, saya beralasan bahwa saya tetap percaya kepada Tuhan meskipun tidak ke gereja."

Namun, keinginan yang kuat untuk mengenal Tuhan lebih jauh pada akhirnya mendorong Susan untuk ikut aktif lagi di kegiatan gereja. Ia kemudian memutuskan bergabung dengan sebuah komunitas gereja yang menurutnya terbilang lebih toleran dibandingkan yang sebelumnya pernah ia masuki.

Walaupun aktif dalam kegiatan gereja, diakui Susan, dirinya tetap bisa melalui masa remajanya seperti kebanyakan gadis seusianya. Pada waktu senggang, ia mengikuti kelas balet dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

Saat aktif di komunitas gereja baru ini, ia kerap mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya yang mengaku berbicara dengan Tuhan dalam bahasa roh. Hal tersebut menimbulkan kebingungan dalam dirinya yang saat itu tengah mempelajari konsep mengenai ketuhanan.

Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-17, Susan membuat beberapa resolusi di tahun baru. Salah satu resolusinya adalah menyelidiki agama-agama lain. "Agama Islam saat itu tidak masuk dalam daftar teratas karena agama ini bagi saya terlihat asing dan penuh dengan kekerasan," ungkapnya.

Pengetahuan tentang Islam yang dimiliki Susan kala itu hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang ia baca di buku ensiklopedia anak-anak dan dalam film berjudul Not Without My Daughter. Di samping itu, ada juga pesan yang pernah disampaikan ibunya bahwa beliau tidak peduli jika dirinya menikah dengan seorang pengedar narkoba sekalipun, asalkan jangan dengan seorang Muslim.

Layar TV

Lalu, kenapa ia kemudian memilih Islam? Ada nilai lebih yang ia dapatkan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni kedamaian dan kelembutan. Kebalikan dari yang pernah ia dengar sebelumnya.

Saat disuruh menjelaskan bagaimana ia bisa memutuskan menjadi seorang Muslimah, ibu dua anak ini menuturkan kepada harian The Star bahwa ia tidak bisa mengingat secara pasti, apakah dia menemukan Islam atau Islam menemukannya. Yang pasti, semua peristiwa tersebut tidak pernah ia rancang sebelumnya. "Hari itu, saya menyetel televisi dan mendapati diri saya sedang asyik menyaksikan sebuah program mengenai Islam," ujarnya.

Sejak saat itu, berbagai artikel mengenai Islam di koran dan majalah selalu menarik perhatian Susan. Tanpa disadarinya, ia mulai mempelajari agama Islam. Ketika dalam proses pembelajaran tersebut, Susan justru menemukan sebuah 'kelembutan' yang tidak pernah ia temukan. Lagi pula, ajaran Islam menarik baginya secara intelektual.

"Agama ini jauh berbeda dibandingkan agama-agama yang pernah saya pelajari dan selidiki. Dalam Islam, ternyata tidak mengenal yang namanya pemisahan antara pikiran, tubuh, dan jiwa seperti halnya yang pernah saya pelajari dalam agama Kristen," papar dosen sosiologi Universitas Monash, Australia, ini.

Berawal dari situ, Susan bertekad bulat untuk memeluk Islam. Satu kebohongan besar yang terpaksa ia lakukan adalah merahasiakan perihal keislamannya dari keluarga dan teman-temannya, terutama sang ibu.

Namun, takdir berkata lain. Rahasia yang telah ditutupinya rapat-rapat terbongkar juga ketika ibunya mengadakan perjamuan makan malam dengan menu hidangan utama daging babi. "Saat itu, saya mengalami dilema, antara mesti mengumumkan soal keislaman saya atau memakan makanan haram itu," ujarnya mengenang peristiwa itu.

Dalam kebimbangan tersebut, ia pun berterus terang. Namun, tanpa ia sangka, reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya sungguh membuatnya terkejut. Bukan kemarahan dan cacian, melainkan tangisan dan pelukan erat dari sang ibunda yang diterimanya.

Selang beberapa hari setelah insiden makan malam tersebut, istri dari Waleed Ali ini kemudian memutuskan mengenakan jilbab. Menurutnya, menutup kepala merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah. Karena, hakikatnya, Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia. Bagi dia, banyak manfaat yang dirasakan dengan menutup aurat itu. "Selain sebagai sebuah peringatan agar kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya, juga menjadikan wanita Muslim sebagai duta Islam," ujarnya.

Selepas memeluk Islam, perjalanan hidup yang dilalui Susan tidaklah semudah yang dialami segelintir mualaf yang bernasib baik. Susan sering berhadapan dengan kemarahan khalayak ramai dan dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan, ia juga kerap mendapatkan penghinaan di depan umum terkait dengan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya.

Namun, kini semuanya berubah. Setelah lima tahun berislam, barulah Susan mempunyai teman-teman yang bukan saja berasal dari kalangan Muslim, tetapi juga dari non-Muslim. Dengan busana Muslim yang membalut tubuhnya, ia kini bebas mengajak anaknya untuk berjalan-jalan di taman kota ataupun bermain di dekat danau, di mana dulu semasa kecil ia sering diajak oleh ibunya untuk memberi makan bebek. Begitupun ketika ia pergi mengajar ke kampus dengan mengendarai VW Bettle warna merah muda yang biasa disapanya dengan panggilan 'Gus', tidak ada lagi tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/06/17/120473-susan-carland-aktivis-gereja-yang-menemukan-kelembutan-islam

Perempuan Aktivis Kemanusiaan Yahudi Masuk Islam


REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT--Seorang aktivis kemanusiaan Yahudi asal Maroko, Thali Fahima, Senin 7 Juni, mengumumkan keislamannya di kota Umm Al Fahm, setelah melalui berbagai liku jalan dalam pencarian agama ini. Thali Fahima memilih untuk menyatakan keislamannya di kota Umm Al Fahm karena ia ingin menjelaskan bahwa yang mendorong ia masuk Islam adalah karena ia mengenal baik Asy Syaikh Raid Shalah, pemimpin gerakan Islam di Palestina 1948 yang sekarang diduduki Zionis.

“Ketika pertama kali saya bertemu dengan Syaikh Raid Shalah, saya merasakan dari dalam diri saya sesuatu yang mengguncang jiwa saya, meskipun ia belum mengucapkan sepatah kata pun. Akan tetapi pancaran raut wajahnya dan sikap rendah hatinya benar-benar mendorong saya untuk masuk Islam,” kata dia mengenang pertemuan itu.

Pernyataan keislamannya di Masjid Al Malsa dan disaksikan oleh Asy Syaikh Dr Raid Fathi, Asy Syaikh Yusuf Al Bazz serta imam Masjid Malsa, Asy Syaikh Taufik Yusuf dan Asy Syaikh Mustafa Ridha. Setelah Asy Syaikh Raid Fathi menjelaskan pokok-pokok ajaran Islam kepada Thali Fahima, ia pun beranjak untuk menjenguk Asy Syaikh Raid Shalah yang sedang dalam tahanan rumah oleh 'pemerintah' Zionis.

Ia menjenguk pemimpin gerakan Islam itu untuk memberitahukan keislamannya sekaligus menyampaikan rasa terima kasih kepadanya. Thali juga mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah Ta’ala yang telah mentakdirkannya mengenal Asy Syaikh Raid Shalah sebagai jalan baginya untuk menjemput hidayah teragung, yaitu Islam yang lurus.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/06/09/119042-perempuan-aktivis-kemanusiaan-yahudi-masuk-islam

Laura Rodriguez, Dari Katolik Jadi Presiden Federasi Perempuan Muslim


Islam adalah agama yang universal dan rahmat bagi sekalian alam. Islam sangat menjunjung tinggi ajaran moral dan akhlak. Seluruh inti dari ajarannya memberikan kedamaian, ketenangan, dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Selain itu, Islam tidak membeda-bedakan derajat laki-laki dan perempuan, kecuali atas dasar ketakwaannya kepada Sang Pencipta alam semesta.

Gambaran seoerti itu membuat Laura Rodriguez memilih Islam dan keluar dari Katolik. "Saya memilih Islam karena memberi saya hak-hak yang tidak diberikan oleh agama saya sebelumnya.
Islam memberikan kebebasan individu dan hak-hak hukum, hak untuk pendidikan dan pekerjaan, bahkan hak untuk hidup bersama dalam sebuah perkawinan," ujar Laura Rodriguez, tentang pilihannya memeluk Islam.

Laura tidak asal bicara. Lahir sebagai seorang Katolik dan dididik di sekolah Katolik dengan ajaran yang sangat ketat, ia sangat paham seluk-beluk agama itu. Tapi, perjalanan hidup mengantarkannya pada titik yang lain dari awal tempatnya berangkat. Saat tengah menekuni agama lamanya, Laura justru menemukan pencerahan dalam Islam. Ia menyatakan, saat ini dirinya sangat nyaman berada dalam naungan agama yang diridhai Allah ini.

Perempuan yang kini menjabat sebagai presiden Federasi Perempuan Muslim di Spanyol ini mengungkapkan, `penindasan' terhadap kaum perempuan masih berlaku hingga saat ini di negaranya yang mayoritas warganya adalah Katolik. "Para perempuan Katolik tidak dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Bahkan, sampai saat ini, perempuan Katolik di Spanyol perlu mendapatkan perizinan khusus dari suami meski hanya untuk membuka rekening bank," ujar Laura, sebagaimana dikutip muslimdaily.net.

Padahal, lanjutnya, dalam Islam seorang perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan yang lebih baik, termasuk dalam membangun rumah tangga bersama suaminya. "Sebelumnya, perempuan dibatasi hanya melahirkan anak-anak. Mereka tidak berhak mengajukan perceraian bila tidak ada kecocokan dalam rumah tangga. Dan Islam, memberikan semua hak itu, yang menurut saya sangat sesuai dengan kodrat perempuan," ujar dia.

Ia menambahkan, kaum perempuan baru memperoleh hak mereka sejak negara-negara Eropa Kristen menjadi sekuler setelah Revolusi Perancis. Kondisi tersebut, kata dia, membuat pihak gereja kehilangan kekuasaannya untuk mempengaruhi masyarakat.

Meski kini Laura mengakui telah mendapatkan hak-haknya kembali sebagai seorang perempuan dalam Islam, bukan berarti tantangan dan pekerjaan berat sudah selesai. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki nasib dan kehidupan perempuan Muslim dan imigran di Spanyol. Salah satunya adalah buruh migran Muslim yang banyak mendapat kesulitan dibandingkan buruh migran lainnya yang non-Muslim.

Laura sendiri telah bekerja pada isu imigrasi selama 17 tahun terakhir.
"Kenyataan di lapangan berbicara bahwa masih banyak migran perempuan menghadapi kesulitan yang lebih dibandingkan rekan-rekan pria mereka," paparnya sebagaimana dikutip dari laman orange.co.uk.

Ia sangat menghargai pendekatan Pemerintah Spanyol saat ini yang dipimpin oleh Jose Luiz Zapatero dari Partai Buruh Sosialis, menyangkut kebijakannya terhadap Muslim. "Zapatero adalah perdana menteri pertama yang secara resmi menerima perwakilan dari komunitas Muslim dalam pemerintahannya," ungkapnya. "Dia juga yang pertama untuk memberikan dukungan keuangan untuk umat Islam dan organisasi Islam lainnya."

Akan tetapi, kata Laura, pemerintahan Zapatero belum mampu membuat kemajuan terkait isu-isu yang menyangkut agama dan kaum perempuan di Spanyol. "Saat undang-undang tentang perempuan dan isu-isu yang menyangkut agama dibahas, ternyata tidak ada perwakilan umat Islam yang diundang di sana," terang Laura. Ia menyayangkan hal itu tidak dilakukan Zapatero.

Menurut Laura, fakta di lapangan membuktikan kalau undang-undang tersebut tidak dapat melindungi hak-hak kaum perempuan, khususnya kaum perempuan imigran. Ketidakadilan itulah yang kemudian mendorong perempuan berjilbab ini berusaha keras untuk membantu dan meringankan penderitaan perempuan migran Muslim dalam mendapatkan hak-haknya.

Stigma negatif Pekerjaan rumah lain yang harus dituntaskannya, menurut Laura, adalah bagaimana menghapus stigma negatif yang selama ini kerap melekat dalam diri umat Islam. Islam di Spanyol, ungkapnya, terus dihubungkan dengan ekstremisme, terorisme, dan imigran ilegal walaupun sebenarnya sejarah dan budaya Spanyol tidak lepas dari kebesaran Islam sendiri.

Karena itu, melalui kampanye dan pameran yang digagasnya beberapa waktu lalu, Laura berupaya untuk memperlihatkan kondisi umat Islam di negaranya yang sesungguhnya. "Kami lahir di Eropa dan ber-Islam serta memeluk agama ini di Eropa. Sudah semestinya Islam juga menjadi salah satu identitas Eropa," usulnya. Usulan Laura ini dipahami oleh media Eropa sebagai salah satu pernyataan yang sangat kontroversial.

Bagi Laura, hak asasi manusia yang sering digembar-gemborkan dunia internasional hingga saat ini justru lebih banyak menciptakan masalah di Eropa. Karena di sisi lain, Eropa terus menggambarkan Islam sebagai agama yang buruk dengan menunjukkan kepada masyarakatnya contoh-contoh buruk, kolot, pemimpin yang kejam (tiran) dan lalim, serta kaum perempuan yang tertindas.

"Oleh media Eropa, Islam digambarkan sebagai agama yang kolot, kejam, dan kaum perempuannya dianggap tidak berbudaya. Padahal, perbuatan buruk seperti itu dilakukan sendiri oleh pihak Eropa terhadap masyarakatnya," terang Laura.

Laura menambahkan, "Ketika kami memegang ajaran Islam di Spanyol secara wajar, media Eropa dan Barat tidak memberi perhatian sedikit pun. Tetapi, ketika seorang pezina dirajam di negara Muslim, media Barat dengan bersemangat terus memberitakan dan menyorotinya.
Bahkan, kadang menyebut hukum Islam, seperti rajam sebagai tragedi bagi dunia," ujarnya.

Karena itu, menurut Laura, negara-negara di Eropa harus mendapatkan pendidikan dan pelajaran yang benar tentang Islam. Inilah tantangan yang dihadapi seluruh umat Islam di dunia, untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah, damai, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Laura menjelaskan, pada dasarnya kaum perempuan Muslim di negara-negara Barat, ingin berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial di Barat. Tetapi, orang Eropa tidak membolehkannya. "Jika saya ingin mendapatkan pekerjaan atau bergabung dengan organisasi masyarakat, pasti akan ditolak karena saya memakai jilbab," tukasnya.

Seperti diketahui, media-media di Eropa bahkan sejumlah parlemen di Eropa, kini membuat sejumlah perundang-undangan yang membatasi kegiatan umat Islam. Mulai dari persoalan jilbab, pembangunan menara masjid, suara azan, hingga isu terorisme global. Berbekal pengalaman yang ada, Laura berkeinginan menunjukkan tekadnya dalam memperjuangkan kaum perempuan Muslim untuk mendapatkan hak-haknya secara adil.

Sumber Data:

Robin Padilla, Dari Dunia Gemerlap Menuju Islam


REPUBLIKA.CO.ID,MANILA--Siapa yang tak kenal Robinhood? Seorang sosok ksatria pembela kaum miskin dari tanah Inggris. Ia senantiasa membela kaum lemah dengan mengandalkan panah sebagai senjata utamanya. Tak jauh berbeda dengan Robin Padilla, aktor asal Filipina ini juga pernah membintangi film serupa di negeri asalnya.

Nama lengkapnya adalah Robinhood Fernando Carino Padilla. Namun, ia lebih populer dengan panggilan Robin Padilla. Ia adalah aktor Filipina yang pernah berjaya di era tahun 1990-an. Film-film yang dibintanginya selalu masuk dalam jajaran box office di negaranya. Tak heran bila namanya masuk dalam daftar teratas aktor dan aktris Filipina terlaris.

Nama pesohor kelahiran Kota Manila, 23 November 1967 ini makin meroket setelah membintangi sejumlah film laga di negaranya. Bahkan karena peran yang dimainkannya sebagai seorang gangster berdarah dingin dalam sejumlah film, ia mendapat julukan The Bad Boy of Philippine Action Movies.

Bakat akting memang sudah mendarah daging dalam keluarga besar Robin Padilla, yang merupakan pemeluk Kristen Protestan. Ketiga orang kakak Robin, yakni Rustom Padilla, Royette Padilla dan Rommel Padilla, juga dikenal publik Filipina sebagai aktor. Kehidupan sebagai bintang besar (megastar) membawa Robin dekat dengan dunia malam dan obat-obatan terlarang.

Ia pun akhirnya menjadi pecandu dunia malam. Kariernya sebagai superstar pun meredup. Ia terlibat dalam kehidupan preman jalanan. Akibat sikap dan perilakunya itu, pada tanggal 21 Juli 1994, kepolisian Filipina mengeluarkan surat penangkapan terhadap dirinya. Ia dinyatakan bersalah atas kepemilikan senjata api ilegal dan dijatuhi hukuman selama 21 tahun penjara. Namun, ia dibebaskan pada awal tahun 1998.

Saat menjalani kehidupan dari balik terali besi, Robin berkenalan dengan seorang Muslim bernama Gene Gallopin. Gallopin adalah aktivis pejuang HAM bagi masyarakat Minoritas Muslim di Filipina. Dari Gallopin yang juga merupakan seorang mualaf, Robin mulai mengenal Islam. Keduanya kerap bertukar pikiran. Apa yang disampaikan Gallopin ternyata membekas dalam diri sang aktor.

Setelah melakukan diskusi panjang dengan Gallopin mengenai agama, Robin mantap untuk memeluk Islam. Tak hanya memeluk Islam, ayah lima orang anak ini pun kemudian mengganti namanya dengan Abdul Aziz. Meski dalam keseharian ia masih menggunakan nama Robin Padilla. Tak lama berselang, Liezl, sang istri pun mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang Muslimah.

Perihal keislaman Robin, membuat publik Filipina terhenyak. Terutama para fans berat pemeran utama dalam film Bad Boy 2 ini, karena tidak banyak pemberitaan yang mengulas mengenai proses dirinya menjadi seorang Muslim.

Bagi Robi, menjadi seorang Muslim memberikan tantangan tersendiri. Berkali-kali ia diberitakan miring terkait aktivitas keagamaannya. Ia kerap dikaitkan dengan Kelompok Abu Sayyaf, sebuah kelompok Muslim yang kerap dicap sebagai kelompok radikal di Filipina. Salah satunya adalah pemberitaan mengenai penangkapan terhadap seorang petinggi Abu Sayyaf oleh pihak berwenang di Filipina.

Belakangan diketahui jika orang yang ditangkap tersebut merupakan salah seorang pengawal pribadinya. Langkah Robin untuk membantu saudara-saudaranya sesama Muslim pun begitu mengesankan. Pada tahun 2004, ia membentuk sebuah lembaga advokasi yang difokuskan untuk penanggulangan wabah malaria. Melalui lembaga advokasi bentukannya ini, Robin memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada masyarakat Muslim Filipina. Atas dedikasinya ini, Departemen Kesehatan Filipina menunjuknya sebagai juru kampanye Gerakan Pemberantasan Malaria.

Robin juga dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Dalam suatu waktu ia berhasil melakukan penggalangan dana sebesar satu juta peso Filipina untuk membangun area pemakaman Muslim di kota Norzagaray, Provinsi Bulacan. Ia juga mendonasikan uang sebesar 2,5 juta peso Filipina kepada sebuah lembaga kemanusiaan di Filipina, Muay Association of the Philippines.

Sementara dalam bidang pendidikan, melalui Yayasan Dindang Kapayapaan yang dibentuknya, ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan prasekolah bagi anak-anak Muslim di atas lahan miliknya di Fairview Park, Quezon City. Lembaga pendidikan tersebut telah beroperasi sejak tahun 2007 hingga saat ini.

Robin menjelaskan, para murid yang belajar di sekolah tersebut, nantinya akan mendapatkan bimbingan membaca Alquran dari para tenaga pengajar terpilih. Selama menimba ilmu di sekolah tersebut, tambahnya, para peserta didik akan tinggal di rumah pribadinya yang berada dalam satu lokasi dengan gedung sekolah. "Para murid kita bebaskaan dari uang sekolah, biaya pembelian buku, papan tulis dan biaya asrama," paparnya sebagaimana dikutip dari laman situs Manila Bulletin.

Meski menyandang status sebagai mantan narapidana, namun hal tersebut tidak membuat karir Robin di dunia akting meredup. Berbagai tawaran untuk tampil di layar lebar datang kepadanya. Namun berbeda dengan sebelum mendekam di penjara, selepas menghirup udara kebebasan ia memutuskan untuk beralih ke film-film bergenre drama dan komedi.

Debutnya di dunia akting selepas keluar dari penjara adalah membintangi film bergenre drama berjudul Tulak ng Bibig, Kabig ng Dibdib. Setelah debut perdananya kembali ke dunia perfilman Filipina, sejumlah tawaran untuk bermain dalam film menghampirinya.

Beberapa film yang pernah ia bintangi setelah dibebaskan yaitu Bakit Ngayon Ka Lang, Hari ng Selda: Anak ni Baby Ama 2, Tunay na Tunay: Gets Mo? Gets Ko, Ooops..., Teka Lang Diskarte Ko To, Kailangan Ko'y Ikaw, You and Me Against The World, Videoke King, dan Pagdating Ng Panahon. Dalam film-film tersebut, ia selalu dipasangkan dengan aktris-aktris ternama Filipina. Sebut saja di antaranya Judy Ann Santos, Angelika dela Cruz, Jolina Magdangal, Claudine Barretto, dan Kris Aquino.

Kiprah ayah dari Ted Matthew (tidtid), Queenie, Kylie, Zhelireen (zhen-zhen), dan Robin Jr (Ali Padilla) dalam dunia akting tidak hanya sebatas di layar lebar, namun juga merambah ke layar televisi. Di antaranya ia pernah membintangi serial TV Asian Treasures produksi GMA Network. Serial televisi yaang dibintanginya ini selalu menempati peringkat atas acara televisi yang selalu ditonton pemirsa.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/05/21/116550-robin-padilla-dari-dunia-gemerlap-menuju-islam

Torquato Cardilli, Dubes Eropa Pertama yang Memeluk Islam


Sekitar delapan tahun yang lalu, publik Italia dikejutkan oleh pengumuman seorang staf kedubesnya di Riyadh, Arab Saudi. Dubes mereka, Torquato Cardilli, menyatakan diri sebagai seorang Muslim. Sebelum Cardilli, sebenarnya sudah ada pejabat negara Eropa yang masuk Islam, yakni Dubes Jerman untuk Maroko, Murad Wilfried Hofmaan, dan Dubes Amerika Serikat untuk Fiji-Nauru-Tonga-Tuvalu, Osman Siddique. Namun, mereka ini masuk Islam sebelum menjabat dubes, sedangkan Cardilli masuk Islam saat menjabat sebagai duta besar.

Tak hanya publik Italia, masyarakat Muslim di negara-negara Eropa pun terkejut. Sejumlah media massa internasional saat itu memberitakan keislaman Cardilli. Stasiun televisi CNN dan kantor berita Reuters, misalnya, memberitakan bahwa Torquato Cardilli, seorang diplomat yang saat itu menjabat sebagai dubes Italia untuk Arab Saudi, mengungkapkan keputusannya untuk memeluk Islam kepada surat kabar Saudi. Pengakuan Cardilli tersebut disampaikan bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-59.

Dalam pemberitaan yang dilansir pada 26 November 2001, CNN dan Reuters menyebutkan, hal tersebut merupakan yang kedua kalinya terjadi dalam tujuh tahun terakhir, di mana seorang utusan pemerintahan Roma untuk Kerajaan Arab Saudi berpindah keyakinan ke agama Islam. Sebelumnya, rekan sejawat Cardilli yang juga pernah menjadi dubes Italia untuk Kerajaan Arab Saudi pada periode 1994-1995, Mario Scialoja, menyatakan masuk Islam. Scialoja kini menjabat sebagai ketua Pusat Kebudayaan Islam Italia.

Menurut CNN dan Reuters, Cardilli secara resmi masuk Islam pada 16 November 2001. Namun, kantor berita Arab News menyebutkan bahwa dubes Italia tersebut masuk Islam tepatnya pada 15 November 2001, sehari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.

Kelas kajian Islam Sebelum masuk Islam, lelaki kelahiran L'Aquila, 24 November 1942, ini diketahui kerap mengikuti kelas-kelas kajian Islam yang diselenggarakan oleh The Batha Center, sebuah instansi yang menangani para calon mualaf. "Ia (Cardilli--Red) sering mengikuti kelas kajian Alquran dan studi mengenai kebudayaan Islam," ujar Nouh bin Nasser, direktur The Batha Center, kepada kantor berita Prancis, AFP.

Di lembaga pembinaan mualaf tersebut, Cardilli mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam dan membaca dua kalimat syahadat di hadapan para pengurus dan anggota The Batha Center. "Di sana, ia membaca syahadat dengan fasih karena memang sudah dikenalnya sejak lama," ujar dia. Nouh menjelaskan, Cardilli masuk Islam dengan keikhlasan dan kesadarannya tanpa paksaan dari pihak mana pun. "Tak ada paksaan sama sekali. Ia masuk Islam dengan kesadaran sendiri. Agama Islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam," terangnya.

Nouh mengungkapkan bahwa rata-rata tiga hingga empat orang setiap harinya datang ke The Batha Center untuk menyampaikan keinginannya masuk Islam. Jumlah tersebut, menurut dia, meningkat hingga lima orang selama bulan Ramadhan. Arab News melaporkan, sebanyak 20 lembaga serupa juga beroperasi di Riyadh dan beberapa kota lainnya di wilayah Kerajaan Arab Saudi.

Cardilli yang lulusan fakultas studi bahasa dan kebudayaan timur Universitas Naples ini telah menghabiskan sebagian besar karier diplomatiknya di negaranegara Muslim. Hal ini pula yang kemungkinan membuatnya menjadi dekat dengan ajaran dan kebudayaan Islam.

Cardilli yang fasih berbahasa Arab itu memulai karier diplomatiknya pada tahun 1967. Dia pernah ditugaskan sebagai diplomat untuk beberapa negara Timur Tengah, antara lain Sudan, Suriah, Irak, Libya, Tanzania, dan Albania. Sejak tahun 2000, ia ditunjuk menjadi dubes Italia untuk Arab Saudi.

Dalam pernyataan resminya, ayah dua orang anak itu mengungkapkan kebahagiaannya setelah menjadi Muslim. Peralihan agama tersebut, katanya, ia putuskan dengan penuh keyakinan dan tanpa penekanan serta paksaan dari siapa pun. Ia merasakan kesucian kandungan Alquran yang kerap dibacanya saat dirinya masih memeluk agama Katolik. "Saya merasa inilah agama yang benar dan lurus. Alquran sangat menakjubkan dan tak ada yang mampu meragukannya. Isinya benar-benar mengagumkan," terangnya.

Setelah kembali ke Roma, Cardilli dikabarkan menemui Perdana Menteri Silvio Berlusconi. Kepada pemimpin Italia itu, ia menjelaskan mengapa memutuskan masuk Islam. Sejumlah pihak di Italia saat itu mengharapkan keputusan sang dubes tidak sampai memberi angin kepada para teroris. Karena, yang menjadi sorotan kala itu bukan sekadar perpindahan keyakinan agama, tapi juga keputusannya yang berdekatan dengan peristiwa serangan pada 11 September 2001 ke menara kembar, World Trade Center, di New York, Amerika Serikat.

Setelah tragedi 11 September 2001 itu, di dalam negeri Italia sendiri muncul sentimen negatif terhadap umat Islam. Maka, wajarlah ada pihak yang menganggapnya masuk Islam karena pengaruh tragedi tersebut. Namun, masyarakat Muslim Eropa mengharapkan masyarakat Italia dapat menghargai keputusan Cardilli serta tidak mengaitkannya dengan peristiwa tersebut.

Mungkin, di tiga negara yang jumlah Muslimnya signifikan, seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, figur publik yang masuk Islam semakin biasa. Namun, Italia mempunyai nilai kesensitifan tersendiri, terlebih karena di Italia terdapat pusat agama Katolik dunia, yakni Vatikan. Karena itu, wajarlah bila sejumlah pendeta mengkhawatirkan keislaman Cardilli akan menjadi preseden buruk bagi negara tersebut.

Saat ini, tercatat warga Muslim menjadi pemeluk agama terbesar kedua di Italia. Data statistik resmi Italia terakhir, yakni tahun 2005, menyebutkan bahwa jumlah Muslim yang tinggal di Italia diperkirakan antara 960 ribu hingga 1 juta orang. Sekitar 40 ribu hingga 60 ribu orang di antaranya merupakan warga negara Italia.

Peresmian Islamic Center tahun 1973 merupakan peristiwa penting bagi terciptanya dialog antara warga Muslim dan non-Muslim di Italia. Pada tahun 1999, kemudian dibentuk Islamic Council. Tak kurang dari empat ribu masjid sudah berdiri di sana, termasuk bangunan bekas gereja. Tentu saja, yang terbesar adalah Masjid Agung Roma.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/05/07/114704-torquato-cardilli-dubes-eropa-pertama-yang-memeluk-islam

Alexander Litvinenko, Masuk Islam Dua Hari Menjelang Kematian


Nama Alexander Litvinenko mungkin tidak begitu asing terdengar di telinga sebagian masyarakat dunia. Sosoknya memang sempat menghiasi pemberitaan di berbagai media internasional pada paruh kedua tahun 2006 silam, setelah kematiannya terungkap karena dibunuh dengan racun sejenis bahan radio aktif isotop polonium 210.

Sebelum ajal menjemput, ternyata mantan agen mata-mata rahasia badan intelijen Rusia, Federal Security Sevice itu berpesan agar ia dimakamkan dengan cara Islam. Memang, saat itu hanya beberapa orang terdekat Litvinenko yang mengetahui perihal keislamannya.

Sejumlah media massa internasional memberitakan bahwa upacara pemakamannya memang dilakukan secara rahasia yang dihadiri sedikitnya 30 orang kerabat dekat Litvinenko. Upacara pemakamannya sendiri dilangsungkan di kawasan utara Kota London, Inggris. Upacara terpisah untuk menghormatinya yang terakhir kali juga diselenggarakan di Masjid Regent's Park, London. Ini sesuai dengan keinginannya agar prosesi pemakamannya diselenggarakan sesuai dengan syariat Islam.

Bahkan sang ayah, Walter Litvinenko, dilaporkan ikut menghadiri upacara di Masjid Regent's Park bersama pentolan pejuang Chechnya, Akhmed Zakayev. Kerabat Litvinenko mengatakan, ayah tiga anak itu sudah menjadi Muslim sebelum meninggal.

Menurut Walter, anak laki-lakinya itu sudah menyatakan diri masuk Islam saat terbaring sekarat di Rumah Sakit London sampai akhirnya meninggal pada 23 November 2006. ''Litvinenko masuk Islam dua hari sebelum ajal menjemput,'' kata Walter kepada Radio Free Europe.

Dalam wawancara dengan surat kabar Rusia, Kommersant, yang dikutip Times Online edisi 5 Desember 2006, Walter mengatakan, anaknya yang semula memeluk Kristen Ortodoks menyatakan permintaan terakhirnya sebelum meninggal, yaitu agar ia dimakamkan secara Islam. ''Dia bilang, ingin dikubur dengan cara Islam. Saya bilang, semuanya akan dilakukan seperti yang dia inginkan. Kami sudah memiliki seorang Muslim di keluarga kami. Namun yang paling penting adalah meyakini Yang Maha Besar, Tuhan itu satu,'' papar Walter.

Sementara seorang kolega Litvinenko, Ghayasuddin Siddiqui, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Parlemen Muslim Britania Raya, mengungkapkan bahwa Litvinenko telah resmi memeluk Islam beberapa hari sebelum ia diracun. Sedangkan Akhmed Zakayev, yang pernah bertetangga dengan Litvinenko, berkata, ''Sehari sebelum kematiannya, dia (Litvinenko) minta dibacakan Alquran dan mengatakan kepada istrinya dan anggota keluarga lainnya bahwa dia menginginkan agar dimakamkan dalam tradisi Islam.''

Tak diperoleh keterangan alasan Litvinenko memeluk Islam. Namun, dari beberapa situs yang mengungkapkan perjalanan kariernya, tampaknya Litvinenko kecewa pada sikap Pemerintah Rusia yang selalu memerangi kelompok Muslim Chechnya. Karena itu pula, sejumlah situs mengungkapkan, pembunuhan atas Litvinenko terkait dengan sejumlah pernyataannya yang menyinggung kebijakan Pemerintah Rusia saat itu.

Selain itu, ketertarikan Litvinenko pada Islam tampak dengan sikap umat Islam yang damai dan akan bertindak bila mereka terdesak demi mempertahankan diri. Ia melihat, umat Islam senantiasa berjuang untuk perdamaian. Ayahnya, Walter Litvinenko, mengatakan, anaknya itu tumbuh kecewa dengan apa yang disebut hierarki dalam gereja Ortodoks Rusia. Ia sudah berusaha menyampaikan ketidaksimpatikannya atas sikap gereja, namun tak dituruti.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/04/30/113692-alexander-litvinenko-masuk-islam-dua-hari-menjelang-mati

Robert Dickson Crane


Berbagai posisi penting dalam pemerintahan Amerika Serikat (AS) pernah ditempati Robert Dickson Crane. Dia pernah menjabat sebagai penasihat politik luar negeri untuk Presiden AS ke-37, Richard Nixon, dari 1963 sampai 1968, dan untuk waktu yang sangat singkat menjabat wakil direktur perencanaan Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Nixon, serta menjadi duta besar untuk Uni Emirat Arab (UEA) di masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan.

Setelah memeluk Islam, lelaki kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929 ini lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan tentang Islam. Perjalanan Crane dalam menemukan Islam cukup panjang. Nenek moyang Crane dari garis ibu berasal dari daratan Eropa yang bermigrasi ke wilayah Amerika.

Keluarganya datang ke New Haven, Connecticut, pada 1636. Beberapa di antara mereka menetap di Elizabethtown (sekarang Elizabeth), New Jersey. Sementara nenek dari pihak ayahnya berasal dari suku Indian Cherokee. Meski berasal dari kalangan suku Indian, namun keluarga besar Crane tetap menomorsatukan urusan pendidikan. Ayah Crane merupakan seorang pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Harvard.

Sementara keluarga besar ibunya dikenal publik Amerika sebagai salah satu penyokong finansial Universitas Northwestern. Karenanya tak mengherankan jika sedari kecil hingga dewasa ia mendapatkan pendidikan yang memadai.

Selepas menamatkan pendidikan menengah atas, Crane sempat berkuliah di Universitas Harvard, namun tidak sampai tamat. Kemudian ia melanjutkan pendidikan setingkat sarjana muda di Universitas Northwestern. Setelah lulus dari Northwestern, ia diminta untuk membantu menjalankan usaha keluarga.

Kemudian kedua orang tuanya memintanya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Harvard. Sejak muda, Crane gemar menulis berbagai artikel. Salah satu artikel yang pernah ditulisnya adalah mengenai strategi ruang angkasa Soviet. Ketika pecah Krisis Misil Kuba, ia menulis sebuah artikel panjang tentang strategi perang psikis.

"Saya sudah menduga bahwa Soviet akan memenangkan krisis misil itu. Setiap orang berpikir bahwa Amerika Serikat akan menundukkan mereka, tetapi bagi saya jelas bahwa tujuan Krushchev (pemimpin Soviet kala itu, red) bukanlah mengintimidasi atau menggunakan misinya untuk melawan Amerika Serikat. Tujuannya adalah mengkonsolidasi kekuatan Komunis di Kuba. Caranya adalah dengan memasang misil-misil tersebut, kemudian menariknya kembali dengan jaminan komitmen Amerika agar tidak mencampuri urusan Fidel Castro, itulah yang sebenarnya terjadi,’’ papar Crane dalam buku American Jihad, Islam After Malcolm X, karya Steven Barbosa.

Tanpa ia duga, artikel tersebut dibaca oleh mantan orang nomor satu di Amerika, Richard Nixon. Nixon membacanya di atas pesawat dalam penerbangan dari California ke New York. "Dia memanggil saya segera setelah mendarat, pada Januari 1963, dan bertanya apakah saya bersedia menjadi penasihatnya untuk urusan politik luar negeri," ungkap Crane.

Sebagai penasihat presiden tentunya ia harus menguasai berbagai aspek persoalan terkait dengan politik luar negeri. Tugas utamanya saat itu adalah mengumpulkan artikel-artikel terbaik pada setiap pokok persoalan dan menggabungkan semua artikel tersebut menjadi buku ringkasan untuk dibaca oleh Nixon.

Berbagai macam artikel dibacanya, salah satunya adalah mengenai agama. Ia tertarik untuk membaca tentang bermacam-macam agama. Dan dia ingin mengetahui tentang Islam. "Saat itu saya telah membaca sedikit tentang Islam, sebab saya pikir Islam akan menjadi sekutu Amerika Serikat yang paling kuat dan tahan lama untuk melawan Komunisme. Sebab kami berdua, saya dan Nixon, memandang Komunisme sebagai ancaman dunia," tutur Crane.

Saat Nixon hendak mencalonkan diri sebagai Presiden AS, Crane termasuk salah satu orang terdekat Nixon yang tidak memberikan dukungan. Terlebih lagi pemikirannya yang kerap berseberangan dengan ketua tim sukses Henry Kissinger, membuatnya disingkirkan selama masa kampanye 1968.

Setelah terpilih menjadi Presiden AS ke-37, Nixon menunjuk Crane menjadi wakil direktur perencanaan untuk Dewan Keamanan Nasional. Sementara posisi direktur dipegang oleh Kissinger. Namun, hubungannya yang kurang harmonis dengan Kissinger membuat Crane tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional.

Crane mengakui pada awalnya tidak pernah memikirkan Islam secara serius. Yang diketahuinya tentang Islam hanyalah bahwa Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan surga orang Muslim seperti rumah pelacuran. "Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini. Agama ini sangat primitif. Dan saya menasihati Nixon untuk menggunakan Islam sebagai sekutu untuk melawan komunis. Saya pikir Islam adalah agama yang menjijikkan, tetapi paling tidak, dapat digunakan untuk melawan komunisme," kata dia memaparkan.

Tetapi, sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangannya tentang Islam. Saat itu musim panas tahun 1977, Crane beserta istrinya sedang berada di Bahrain. Di tengah suhu yang begitu panas, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq, yang merupakan kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.

Kondisi jalan yang semrawut ini membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba ada orang tua lewat di depannya dan mengajak Crane ke rumahnya yang berada tidak jauh dari lokasinya saat itu. Crane beserta istri kemudian menghabiskan sisa hari mereka di sana. Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai macam makanan.

"Kami berbicara tentang berbagai hal, dan dia mengatakan bahwa dia seorang Muslim. Saya sungguh terpesona karena dia benar-benar orang baik. Kami tidak pernah membicarakan tentang Islam. Kami berbincang tentang apa-apa yang baik di dunia, tentang hal-hal yang buruk di dunia, dan tentang apa yang penting di dunia. Juga tentang peran Tuhan di dunia, tetapi tidak mengenai agama Islam,’’ ujar dia mengenang.

Momen tersebut benar-benar membekas dalam dirinya. Setelah perjamuan tersebut, Crane mulai berpikir apakah sebaiknya ia mulai mempelajari agama Islam. Ia pun mempelajari Islam, dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam Islam adalah benar-benar apa yang selama ini selalu diyakininya.

Pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire. Seluruh pemikir besar dari gerakan Islam dunia hadir di sana. Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah keinginan untuk belajar sebanyak mungkin dari mereka.

Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah para delegasi asing ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani. Semula ia mengira mereka akan makan siang. Namun, dia baru menyadari kalau hari itu adalah hari Jumat.

"Mereka akan melakukan shalat Jumat. Saya memutuskan sebaiknya saya meninggalkan mereka. Tetapi saya pikir itu akan menyinggung perasaan mereka. Lalu saya hanya duduk di bagian belakang ruangan," ujar. Yang bertindak selaku imam shalat saat itu adalah Hasan Al-Turabi, seorang tokoh terkemuka gerakan Islam internasional asal Sudan. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terhenyak sesaat.

"Saya menyadari bahwa dia membungkuk kepada Allah. Jika dia dapat bersujud kepada Allah maka itu artinya dia sepuluh kali lebih baik dari saya. Saya memutuskan bahwa saya juga harus bersujud," batinnya. Dia merasa mendapatkan teladan dari situ. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutus kan untuk menjadi seorang Muslim.

Sumber Data: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/04/19/111997-perjalanan-mantan-penasihat-presiden-nixon-menemukan-islam

Michael Wolfe


Stasiun televisi terkemuka CNN mewawancarai seseorang bernama Michael Wolfe tak lama setelah terjadi insiden saat pelaksanaan lontar jumrah, beberapa tahun lalu. Meski memiliki nama Barat, namun nyatanya Wolfe mampu memberikan penjelasan secara gamblang dan panjang lebar terkait ibadah haji, maupun peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.

Wolfe juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga makna pada setiap ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage . Selain itu, dia pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun televisi yang sama.

Jadi, bila ditilik dari curriculum vitae-nya ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas kondang di AS.

Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.

Bermula pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis, ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.

Terlahir dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu agama dan kebebasan.

Hingga kemudian dia menemukan satu momen berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia. Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan, sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.

Wolfe yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan.

"Saya hanya berdiri dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji Tuhannya," ungkap Wolfe. Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut selama lebih kurang tiga tahun.

Di sana, dia berinteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis, suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan terbuka.

Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Hal ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan warna kulit, etnis atau keyakinan. "Ini terjadi setiap hari di masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh memprihatinkan," paparnya.

Dia pun menemukan kedamaian dalam Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai antarmanusia secara tulus. Penulis artikel berjudul Islam: The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain, Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap keyakinan lain.

Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.

Keputusannya ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.

Akan tetapi, Wolfe yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari kenyataan yang sebenarnya. "Pendeknya, Islam adalah agama damai," tegas Wolfe.

Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.

Lebih jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika. Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan, termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.

Wolfe semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di dekat kediamannya di California. "Setiap tahun umat Islam berpuasa sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40 hari. Itulah kemuliaan agama Islam," katanya.

Dijelaskan, Islam berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali seumur hidup.

Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun 1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul Mecca: The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan One Thousand Roads to Mecca (1997). "Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang sudah tersemai sejak sekian lama," ujar Wolfe.

Melanjutkan kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas, California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk Taking Back Islam: American Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada 2003 dalam kategori buku agama terbaik.

Wolfe juga pernah menjadi pembawa acara sebuah program film pendek tentang perjalanan haji ke Makkah untuk acara Ted Koppel's Nightline di stasiun televise ABC. Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim Public Affair Council.

Berdakwah Lewat Media Film

Kecintaan Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis, yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari 2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.

Pada tahun 1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah hidup Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad: Legacy of a Prophet .

Terkait film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat. Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.

Film ini mengambil lokasi di tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama dengan Kronemer, Wolfe mempelajari sirah (sejarah) serta buku-buku tentang hadis Rasulullah SAW.

(Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/04/15/111286-michael-wolf-hidayah-turun-usai-melihat-muslim-shalat-di-pesawat)